Minggu, 15 April 2012

"Hidayah Nenek Pemecah Batu"

Kisah ini berada disekitar kehidupan para  pemecah batu kali. Mereka menempati lapak-lapak yang berada di pinggir jalan desa. Salah satu diantara para pemecah batu itu adalah nenek Ismah.
Ia rajin memecah batu-batu kali menjadi pecahan kecil-kecil yang dijual kepada pengepul atau mandor. Yang menguasai lapak-lapak disitu adalah mandor Pandi.

Dia adalah seorang pengepul yang kejam dan tega memeras uang para pemecah batu kali itu dengan mengakali timbangannya. Para pemecah batu selalu ribut dengan Pandi setiap kali transaksi pembayaran hasil timbangan karena pembayaran dari Pandi selalu tidak sebanding dengan berat timbangannya. Tapi Nenek Ismah bersikap lain. Dia selalu diam saja melihat kecurangan Pandi. Dia menerima saja berapapun uang yang diterima sebagai pembayaran hasil kerjanya. Nenek Ismah selalu mengalah saja. Maka setelah Pandi pergi , nenek Ismah dicela teman-temannya kenapa tidak melawan . Nenek Ismah beralasan bahwa daerah itu sudah dikuasai Pandi. Kalau dia tidak menerima uang pembayaran dari Pandi, kemana dia mau menjual batu hasil pemecahannya itu. Untuk menjualnya kepada pengepul lain lokasinya jauh dan dia tidak mampu menggendongnya ketempat  itu. Lagi pula siapa yang menjamin bahwa pengepul ditempat lain orangnya jujur. Namun para pemecah batu teman-temannya itu tetap meminta nenek Ismah jangan terlalu baik sama mandor Pandi.

Nenek Ismah punya kebiasaan yang unik, yaitu uang hasil penjualan batu  disimpan dalam lipatan selendang. Dalam selendang itu ada dua kantong, satu warna merah, satu lagi warna putih. Ketika pemecah batu yang lain melihat ada dua kantong yang berbeda warna, mereka bertanya untuk apa. Nenek Ismah menjawab bahwa kantong putih adalah untuk keperluan belanja dan untuk makan sehari-hari, sedangkan kantong merah adalah tabungan untuk beli sepeda yang akan diberikan kepada cucunya supaya pergi dan pulang sekolah naik sepeda, dan tidak berjalan kaki seperti yang dilakukan selama ini. Maklum lokasi sekolah cucu-cucunya cukup jauh dari rumah. Para pemecah batu itu ketawa mendengar penjelasan Nenek Ismah. Suti mengejek kelakuan  nenek Ismah menabung untuk beli sepeda itu sebagai hal yang aneh. Sampai kapan bisa terkumpul. Harga sepeda sekarang hampir satu juta rupiah, sedang tabungan Nenek Ismah hanya beberapa ribu saja setiap harinya. Nenek Ismah diam saja mendengar celotehan teman-temannya itu. Ia tetap tegar menghadapinya.

Nenek Ismah hidup bersama dengan anaknya  Manto dan menantunya Sri, bersama dua orang cucunya yaitu Santi yang baru masuk ke sekolah SMP. Adiknya bernama Budi  baru duduk di kelas tiga SD. Diperlihatkan kehidupan dalam rumah tangga Manto dan Sri.  Pagi-pagi  ketika mau  mau berangkat sekolah, kedua cucunya itu diberi bekal uang untuk jajan oleh nenek Ismah. Setelah kedua cucunya berangkat, sisa uang diberikan kepada Sri untuk keperluan belanja rumah tangga. Sri marah-marah karena pemberian itu dianggap sedikit , padahal menurut nenek Ismah sudah cukup banyak. Karena nenek Ismah sudah tidak punya uang lagi , Sri ganti marah-marah kepada suaminya yang cacad itu supaya kerja keras untuk mendapatkan uang banyak , supaya dia bisa belanja dan beli-beli yang lain seperti Mbak Nanik tetangganya itu yang setiap hari selalu makan enak dan bisa beli perhiasan. Sedangkan Sri menganggap boro-boro beli perhiasan, untuk makan anak-anaknya saja megap-megap. Manto berusaha menjelaskan kepada isterinya bahwa mbak Nanik itu suaminya pedagang di pasar, punya uang banyak . Sedangkan dia kakinya cacad , remuk tertimpa batu ketika dulu sedang menambang batu kali . Manto  sekarang hanya bisa bekerja mencari rumput untuk dijual kepada peternak sapi. Dan hasilnya tak seberapa. Tapi Sri tetap saja mengomel dan menuntut. Nenek Ismah tidak tahan mendengar omelan Sri kepada Manto, dia lalu pergi sambil berlinangan air mata. Setelah nenek Ismah pergi, Sri mengusir Manto supaya bekerja dan tidak malas-malasan dirumah saja. Dengan menggunakan tongkat penyangga ketiak Manto tertatih-tatih pergi meninggalkan rumahnya.

Pada suatu hari, ketika sedang memecah batu, ada seorang tukang buku keliling yang minta ijin ikut berteduh di lapak nenek Ismah yang memang cukup teduh. Dari penjual buku keliling itu , nenek Ismah memperoleh pencerahan bahwa orang harus rajin bersedekah, supaya mendapat hidayah dari Allah (materi dari dialogue ini dikembangkan oleh Uztad Yusuf Mansur). Setelah cukup istirahat di lapak nenek Ismah , ada angkutan pedesaan muncul di kejauhan. Penjual buku itu menyetopnya lalu  pergi. Nenek Isma coba mencerna dan memahami kata-kata dan omongan penjual buku itu. Ketika siang hari ada seorang pengemis tua lewat. Pengemis itu meminta-minta kepada para pemecah batu untuk minta sedekah, tapi semua menolaknya dengan alasan bahwa merekapun miskin, sama dengan pengemis itu. Pengemis itupun mendekati lapak Nenek Ismah. Ia tidak tega melihat keadaan pengemis itu. Nenek Ismah membuka lipatan selendang diperutnya. Kantong putih kosong , sedang kantong merah ada isinya banyak. Sejenak nenek Ismah tertegun, tapi ia ingat pencerahan dari tukang buku keliling bahwa orang harus rajin bersedekah supaya mendapat hidayah dari Allah. Nenek Ismah lalu mengambil uang dua ribu, diberikan kepada pengemis itu. Setelah mengucapkan terima kasih, pengemis itupun pergi dan nenek Ismah meneruskan pekerjaannya.  Suti tetangga lapaknya mengomel, mengatain nenek Ismah sok dermawan, padahal dia sendiri hidup kekurangan. Suti juga mengingatkan cita-cita nenek Ismah yang mau beli sepeda untuk cucunya, jadi mestinya ia berhemat. Nenek Ismah yakin bahwa keinginannya akan dikabulkan Allah. Entah kapan..

Sementara itu dirumah Manto sedang terjadi keributan. Manto pulang tidak membawa uang karena sabit yang biasa dipakai menyabit rumput jatuh ke sungai dan dia tidak bisa mengambilnya. Sri marah-marah karena dengan demikian dia tidak bisa mengharapkan uang dari suaminya lagi. Manto menenangkan isterinya dengan janji bahwa dia akan meminjam sabit temannya. Tak berapa lama Santi dan Budi pulang sekolah . Keduanya langsung makan dengan lahapnya. Selesai makan Sri menyuruh Santi segera berjualan kue, jangan sampai Mbah De juragan kue itu marah karena dia terlambat datang. Manto berusaha menyadarkan isterinya bahwa Santi baru saja pulang, masih capek. Tapi Sri marah, siapa lagi yang bisa membantu mencari uang sementara  Manto tidak bisa menghasilkan uang lagi. Santi bilang bahwa dia sudah kenyang dan meminta ayahnya tidak kuatir. Santi lalu pamit pergi kerumah Mbah De juragan kue mau mengambil jatah kue untuk dijual keliling desa.

Di lokasi lapak nenek Ismah, juga terjadi keributan karena sekali ini nenek Ismah menegur mandor Pandi supaya jangan terus-terusan mengakalinya. Pandi malah marah ketika kecurangannya diungkapkan . Pandi mengancam nenek Ismah akan diusirnya jika macam-macam. Suti dan teman-temannya datang membantu melawan Pandi. Akhirnya karena Suti mengancam akan melaporkan kelakuan Pandi kepada pak Kades, Pandi memilih ngeloyor pergi. Suti memuji nenek Ismah karena sekarang sudah berani melawan Pandi.

Tak berapa lama kemudian Santi muncul sambil menangis. Ia tidak bisa menghabiskan jualannya karena sehari itu banyak anak-anak yang menggoda dan mengejeknya karena masih kecil sudah cari uang. Santi merasa malu karena teman-temannya yang lain itu kalau pulang sekolah pada main. Hanya dia sendiri yang berjualan keliling desa. Nenek Ismah berusaha menghibur dan membesarkan hati Santi. Nenek Ismah memanggil Suti dan teman-teman pemecah batu yang lain supaya membeli kue-kue dagangan Santi dengan diskon separo harga. Tentu saja semua berebut membeli kue dagangan Santi sampai habis. Nenek Ismah menomboki kekurangan harga kue yang diberi diskon itu. Dengan demikian Santi tidak dimarahi juragan kue karena dagangannya tidak habis. Nenek Ismah lalu menyuruh Santi pulang supaya bisa segera mandi dan belajar. Setelah kepergian Santi, Nenek Ismah meneteskan air mata, menangis melihat penderitaan cucunya itu. Nenek Ismah berpikir akan terus bekerja keras supaya bisa membeli sepeda, dengan demikian Santi bisa lebih cepat sampai dirumah jika pulang sekolah.

Sebuah mobil angkutan pedesaan berhenti didekat lapak nenek Ismah. Ternyata yang turun adalah penjual buku keliling. Ia bercerita habis dari kota belanja buku-buku agama yang baru karena didesa itu rupanya banyak warga dan kelompok pengajian yang haus bacaan keagamaan. Kepada penjual buku yang dianggapnya mempunyai pengetahuan agama yang lengkap, nenek Ismah mengadu kenapa hidupnya sekeluarga selalu dirundung kesedihan dan kesulitan hidup. Sambil beristirahat sebentar penjual buku memberikan pencerahan kepada nenek Ismah yang intinya adalah nasehat supaya orang selalu sabar, tawakal dan ikhlas dalam menerima cobaan dan ujian dari Allah SWT (materi dari dialogue ini dikembangkan oleh Uztad Yusuf Mansur)

Malam ketika berada dirumah, nenek Ismah merasa masuk angin. Ia terbatuk-batuk. Nenek Ismah mau meminta tolong Santi untuk mengerok tidak tega karena Santi sudah tidur dan nampak kelelahan. Ketika nenek Ismah minta tolong Sri, menantunya itu malah bilang sedang capek kerja seharian. Terpaksa nenek Ismah mengerokin sendiri lengan dan lehernya , sehingga tidak tuntas. Nenek Ismah berucap dalam hati bahwa dia tidak boleh sakit dan harus tetap bekerja memecah batu. Kalau dia berhenti memecah batu, dari mana nanti cucu-cucunya bisa makan sementara Manto belum memperoleh pinjaman sabit dari temannya, karena semua dipake sendiri untuk bekerja.

Keesokan harinya seperti biasa, mandor Pandi berkeliling mengumpulkan batu-batu yang sudah dipecah kecil-kecil oleh para pemecah batu. Ketika sampai di lapak nenek Ismah , Pandi heran karena hari itu batu pecahan milik nenek Ismah sedikit sekali , tidak seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya nenek Ismah selalu paling banyak hasilnya karena dia bekerja dengan penuh semangat. Pandi menuduh bahwa nenek Ismah sekarang sudah jadi pemalas, kerjanya ogah-ogahan membuatnya rugi karena tidak bisa mencapai target untuk dijual kepada kontraktor bangunan. Nenek Ismah memberi penjelasan bahwa dia sedang sakit. Tapi Pandi tidak ambil pusing dan tetap menganggap nenek Ismah sekarang jadi pemalas. Nenek Ismah kesal dengan sikap Pandi itu dan berucap supaya Pandi menderita sakit seperti yang dialaminya. Pandi ketawa mengejeknya.

Tibalah saatnya mandor Pandi menimbang batu hasil pemecahan nenek Ismah. Pandi tidak mau membantu mengangkat keranjang batu milik nenek Ismah. Dengan bersusah payah nenek Ismah berusaha mengangkat keranjang yang berat itu supaya bisa ditimbang. Tak diduga karena kelelahan dan sedang sakit, tiba-tiba nenek Ismah terkulai jatuh pingsan. Mandor Pandi kaget. Is semakin panik ketika para pemeceh batu lainnya berbondong-bondong datang dan menyalahkan Pandi karena berlaku kasar kepada orang tua yang sedang sakit. Mereka menuntut Pandi untuk membawa nenek Ismah ke Puskesmas dan mengobatinya sampai sembuh. Karena takut dikeroyok, Pandi menyetop mobil angkutan desa yang lewat dan membawa nenek Ismah yang pingsan itu pergi ke Puskesmas yang terdekat.

Setelah cukup beristirahat , nenek Ismah dibawa pulang kerumah karena sakitnya tidak memerlukan perawatan menginap. Tetapi nenek Ismah belum bisa bekerja memecah batu karena tubuhnya masih lemah. Hal ini membuat Sri semakin sewot. Sudah suaminya tidak bisa menyabit rumput lagi , sekarang nenek Ismah yang menjadi andalannya juga sakit sehingga tidak bisa bekerja. Siangnya ada pengemis datang meminta sedekah. Santi mengusirnya. Tapi nenek Ismah mencegahnya, bahkan memberi uang supaya pengemis itu bisa membeli makanan. Sri yang melihat tindakan nenek Ismah itu marah besar. Sri menganggap nenek Ismah lebih mementingkan orang lain daripada keluarganya sendiri yang juga kelaparan. Nenek Ismah berusaha menyabarkan menantunya  itu dan memberinya nasehat-nasehat.

Setelah pulang dari menjalankan pekerjaannya mengumpulkan batu dari para pemecah batu, Pandi pulang. Sepanjang jalan Pandi mengomel, merasa rugi karena harus mengeluarkan uang untuk menyewa mobil angkutan pedesaan mengangkut dan mengantar nenek Ismah ke Puskesmas. Sampai dirumah Pandi merasa kurang sehat dan ingin istirahat. Ternyata Pandi sakit cukup serius. Murni isterinya kesal karena sebenarnya dia ingin mengajak suaminya kekota untuk berbelanja. Sekarang rencana itu berantakan karena Pandi sakit. Pandi menegur  isterinya, bukannya menolong dan merawatnya tetapi malah memaki-makinya. Dalam sakitnya itu Pandi gelisah memikirkan keadaan nenek Ismah yang pingsan. Ia kawatir jangan-jangan nenek Ismah mati gara-gara perbuatannya yang selalu mendzoliminya sampai pingsan dan harus dibawa ke Puskesmas. Pandi tidak tahu bahwa nenek Ismah sudah diperbolehkan pulang setelah istirahat beberapa jam di Puskesmas. Pandi memang tidak berani datang ke Puskesmas karena kawatir dimintai tanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa diri nenek Ismah. Karena terdorong oleh rasa bersalah, malamnya Pandi beberapa kali mengigau merengek-rengek minta maaf. Isterinya kesal karena merasa terganggu. Ia semakin marah karena Pandi tidak mau berterus terang kenapa ia mengigau. Murni curiga dengan perilaku suaminya itu. Jangan-jangan Pandi main serong.

Pandi punya niat untuk menemui nenek Ismah dan meminta maaf. Keesokan harinya , dalam keadaan kurang sehat  Pandi  meluncur naik mobil baK terbukanya menuju Puskesmas. Ditengah jalan Pandi merasakan rasa pusing yang hebat di kepalanya. Pandi menghentikan mobilnya dipinggir sawah lalu turun dan muntah-muntah ditepi jalan . Ada seorang Hansip lewat, ia  keheranan melihat keadaan Pandi. Hansip itu lalu menawarkan untuk mengantar Pandi ke Puskesmas. Pandi menolak karena takut ketemu nenek Ismah. Niatnya semula untuk menemui nenek Ismah ternyata berubah haluan. Karena merasakan sakit kepala yang hebat, Pandi teringat kata-kata nenek Ismah sebelum pingsan. Pandi merasa sekarang dia menerima kutukan. Hansip yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan warganya memaksa Pandi pergi ke Puskesmas. Ia tidak peduli dengan penolakan Pandi. Hansip lalu mengemudikan mobil Pandi. Ternyata apa yang ditakutkan Pandi tidak terbukti karena nenek Ismah tidak berada di Puskesmas lagi. Pandi lega.

Pada suatu siang , Pandi sedang berhenti beristirahat dibawah pohon dipinggir jalan. Ia melihat ada anak perempuan dan adiknya yang lelaki sedang bersitegang. Ternyata mereka adalah Santi dan Budi. Budi menangis karena sering diledek teman-temannya lantaran sepatunya yang selalu kotor jika sampai disekolah. Santimenasehati adiknya supaya kalau ke sekolah jangan melewati pematang sawah karena tanahnya basah. Budi membantah, karena kalau lewat jalan berbatu jaraknya jauh. Santi juga sedang pusing karena dagangan kuenya belum habis. Pasti Mbah De , juragan kue akan menuduhnya malas berkeliling desa. Padahal Santi sudah dua kali berkeliling desa menawarkan kue. Santi juga takut nanti emaknya akan marah kalau dapat upah hanya sedikit dari Mbah De. Keduanya berangan-angan, alangkah senangnya kalau mereka punya sepeda. Santi bisa memboncengkan Budi ke sekolahnya dan sepatunya tentu tidak akan kotor lagi jika tiba di sekolah.

Pandi tersentuh hatinya mendengar pembicaraan itu . Ia bertekad akan membelikan sepeda anak itu sebagai penebus kesalahannya selama ini yang selalu mengakali nenek Ismah. Pandi  mendatangi kedua kakak beradik itu yang ia kenal sebagai cucu-cucu nenek Ismah. Pandi memborong semua dagangan kue yang tersisa. Tentu saja Santi senang dan berterima kasih. Ia lega karena tidak akan kena tegur Mbah De , juragan Kue dan tidak akan kena marah dari emaknya, karena pasti dia bisa memberikan upah menjajakan kue itu kepada emaknya.

Beberapa hari kemudian , Pandi nampak naik sepeda baru yang bagus menyusuri jalanan desa. Sampai didepan rumah nenek Ismah, Pandi turun. Nenek Ismah yang melihatnya jadi gemetar dan ketakutan. Ia memastikan bahwa Pandi pasti akan menagih hutang biaya yang sudah dikeluarkannya ketika ia pingsan dan harus dibawa ke Puskesmas menyewa mobil angkutan umum. Ternyata dugaan nenek Ismah meleset. Pandi menyerahkan sepeda baru itu untuk dipakai cucunya ke sekolah, supaya cepat sampai dan sepatunya tidak belepotan lumpur . Nenek Ismah ketakutan dan menolaknya. Ia tidak mau mempunyai hutang kepada mandor Pandi. Dengan sabar Pandi menjelaskan bahwa uang untuk membeli sepeda itu sebenarnya adalah uang milik nenek Ismah yang selama ini dikumpulkan dari sisa kelebihan timbangan. Ketika nenek Ismah masih belum mengerti maksudnya, Pandi dengan gamblang menjelaskan bahwa sepeda itu adalah penebus kesalahannya yang selama ini selalu mengakali timbangan batu kali hasil kerja nenek Ismah. Pandi juga minta maaf atas semua perbuatannya selama ini dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Ketika Pandi melangkah pulang, nenek Ismah menenteskan airmata, menangis merasakan Kebesaran dan Keagungan Allah SWT yang selalu meluluskan permohonan umatnya dengan cara yang tidak terduga. Tak berapa lama kemudian Santi dan Budi pulang. Mereka heran ada sepeda baru dirumahnya. Ketika diberi tahu bahwa sepeda itu adalah milik mereka, Santi dan Budi bersorak gembira. Dengan masih memakai pakaian seragam sekolah Santi mencoba sepeda baru , memboncengkan Budi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar